Sekilas Argopuro

Gunung Argopuro atau Argopura (3.088 m.dpl), termasuk jenis gunung yang mempunyai banyak puncak, terdapat ± 14 puncak di jajaran Pegunungan Iyang. Terletak di Kabupaten Probolinggo Jawa Timur dan berada dalam pengawasan Sub BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) wilayah Jember. Gunung Argopuro merupakan gunung yang mempunyai jalur pendakian terpanjang diantara jalur gunung-gunung di Pulau Jawa lainnya. Memiliki peninggalan bersejarah dari Zaman Prasejarah hingga masa pendudukan Jepang. Jalur pendakian menuju Gunung Argopuro terdapat 2 jalur utama yang umum dipakai oleh para pendaki, yang pertama adalah lewat Baderan, Besuki atau lewat Desa Bremi, Probolinggo.

Minggu, 20 September 2009
Team yang hanya terdiri dari 2 orang saja ini berangkat menuju stasiun Kota dari Cengkareng. Kereta yang kami tumpangi adalah kereta ekonomi Gaya Baru Malam Selatan dengan tujuan akhir Stasiun Gubeng Surabaya. Mengingat ini adalah lebaran pertama, kami sangat yakin apabila kereta tidak akan penuh. Ternyata kami salah…! Kereta meskipun start dari kota tetapi semua kursi telah terisi. Kami menggunakan carriel sebagai tempat duduk. Yang paling parah Si raja Tega (Pedagang Asongan red) meski gerbong sudah penuh sesak, tetap saja menjajakan dagangannya. Injak sana Injak sini sambil berteriak kacang, kacang tanpa memperdulikan apa yang diinjaknya.

Senin, 21 September 2009
Karena kereta ekonomi merupakan kereta yang paling sopan (baca di sini alasannya) Pukul 08.00 sampai juga di Stasiun Gubeng Surabaya. Mundur beberapa jam dari yang kami baca di info kereta api. Rencananya kami akan mampir dulu ke rumah teman yang bernama Elice di Tambak Segaran. Maunya seh bersilahturahmi tapi sekalian numpang mandi dan yang terpenting numpang makan hehehe…Menurut informasi dari Elice jarak dari St. Gubeng ke rumah dia sekitar 2 km. Mumpung masih pagi kami memutuskan untuk berjalan kaki saja. (sebenarnya seh lebih karena ga tau mau naik angkot apa ke sana..). Setelah bertanya kesana kemari kami akhirnya sampai juga di rumah Elice pada pukul 08.45 (ternyata lebih dari 2km…hmff).

Setelah berbenah diri dan makan soto ayam, pukul 11.30 kami pamit untuk melanjutkan perjalanan kami. Dengan menumpang becak, kami diantar hingga Plaza Jembatan Merah di mana ada sebuah bangunan tua. Tak lupa kami pose sejenak. Dari sini kami menaiki bus menuju terminal Purbaya Bungur Asih. Dari terminal BungurAsih kami menaiki bus lagi menuju Probolinggo dan dari Probolinggo menuju pertigaan Panjarakan. Dari Panjarakan pukul 03.30 kami menaiki angkot dengan tujuan desa Bremi. Desa Bremi merupakan desa terakhir untuk memulai pendakian Ke Argopuro. Ternyata angkot yang kami tumpangi hanya sampai daerah Condong. Kami diturunkan di sana, dengan alasan rugi kalo sampai ke Bremi. Dengan kekecewaan mendalam kami komplain supir angkot tersebut mengapa pas di Panjarakan dia mengiyakan menuju Bremi.

Hari sudah hampir gelap ketika kami menunggu bus yang katanya akan datang pada pukul 17.30. Ternyata bus yang kami tunggu tidak kunjung datang. Dengan berat hati kami terpaksa menaiki ojeq karena tidak ingin kemalaman di sini. 20 ribu rupiah merupakan harga yang harus kami bayar. Di Polsek Krucil kami bertemu dengan Pa Gatot. Setelah melapor ingin mendaki Gunung Argopuro, beliau bertanya ingin bermalam di mana malam ini? Dengan wajah memelas Sdr. Noel memohon agar diijinkan tidur di Polsek. Pa Gatot memang baik hati :D setelah kami diijinkan menginap, beliau memperbolehkan kami untuk memakai kompor minyak milik Polsek. Thank’s Pak… Menu Makan Malam ini adalah Nasi, Mie Goreng Kuah yang dicampur potongan kentang serta telor asin ditambah secangkir kopi.

Selasa, 22 September 2009

Pagi hari ini kami akan memulai pendakian. Setelah sarapan dan membereskan perlengkapan, kami dikejutkan dengan kedatangan dua orang pendaki dari Lumajang. Mereka bernama Sdr. Antoni Susilo dan Sdr. Latifudin. Seakan Tuhan menjawab doa kami semoga ada Pendaki lain yang ke Argouro karena kami  baru pertama kalinya ke sini. Jadilah kami bergabung dengan mereka. Awal pendakian kami melewati perkebunan warga. Perjalanan menuju Danau Taman Hidup terus menanjak. Saya yang hanya sarapan sedikit merasakan betul kehabisan stamina. Mungkin karena beban carriel  yang cukup berat sehingga saya tukaran carriel dengan Sdr. Latif yang beratnya jauh lebih ringan. Menurut artikel yang kami baca, dari Pos Bremi ke Danau Taman Hidup hanya memakan waktu 3 jam. Akan tetapi kami sudah 3 jam berjalan dan belum sampai juga ke Danau Taman Hidup. Hari sudah semakin siang, rasa lapar ini terus mengelayuti. Jalur yang seakan tidak ditata karena tidak ada patok menambah rasa kesal di dalam hati, kapankah sampainya di Danau Taman Hidup. Kekesalan itu sedikit terobati, karena kami bertemu dengan rombongan besar kira – kira berjumlah 20 orang yang terdiri dari orangtua, remaja, dan beberapa anak muda. Yang membuat segar ya tentu saja ada seorang wanita yang cantik. Mereka akan kembali ke Krucil setelah menghabiskan waktu 3 hari berkemah di Danau Taman Hidup. Akhirnya sampai juga di Danau Taman Hidup. Berteriak sekencangnya….sst dilarang berteriak di sini karena ada mitos akan ada badai kalau berteriak di sini.

Kami memutuskan untuk menginap di sini dengan pertimbangan fisik yang lelah dan stamina yang sudah sangat terkuras ditambah indahnya Danau Taman Hidup seakan memaksa kami untuk terus tinggal. Hujan rintik – rintik menemani kami memancing ikan di sini. Seakan malu memakan umpan pelet yang dibawa, Sdr. Antoni mencari cacing pengganti pelet dan akhirnya tertangkap juga ikan mas ukuran sedang. Sore hari ada penduduk lokal Bremi yang datang. Mereka juga akan bermalam di sini. Tapi sangat disayangkan keheningan Danau Taman Hidup menjadi rusak karena mereka membakar petasan.

Rabu, 23 September 2009

Kami berangkat dari Danau Taman Hidup sekitar pukul 08.30. Tujuan berikutnya adalah Kali Putih dan dilanjutkan ke Cisentor yaitu persimpangan jalur Bremi dan jalur Baderan. Awal perjalanan, kami berputar – putar sejenak alias kebingungan mencari jalur yang tepat. Kami hanya mengandalkan tali rafia sebagai penunjuk yang telah dipasang oleh pendaki terdahulu. Jalur yang dilalui tidak seberat Bremi ke Taman Hidup. Beberapakali rombongan kera ekor panjang bergelantungan di atas pohon seakan mengejek “Oi anak manusia ngapain cape – cape ke Hutan?” . Artikel yang kami baca jarak tempuh ke Kali Putih dari Taman Hidup adalah 3 jam. Hehehe lagi – lagi kami salah perhitungan. Sudah 3 jam kami berjalan ternyata Kali Putih belum tampak sementara air minum yang kami bawa hanya sedikit. Aturan baru diberlakukan, minum hanya seteguk dua teguk, selebihnya tidak boleh. Pukul 2 siang kami break untuk makan siang yang cukup diisi dengan roti tawar ditambah susu dan khusus Noel dengan diolesi madu (maklum dia itu vegetarian).

Suara Gemiricik Air  mempercepat langkah kami dan benarlah kami tiba di Kali Putih. Kepala ini dipenuhi tanda tanya apakah ini benar Kali Putih atau Cisentor karena kami sudah beberapa kali menemui sungai yang mungkin sudah kering karena kemarau dan lagi sekarang sudah pukul 16.30. Akan tetapi bila benar ini Cisentor, di manakah shelter itu dibangun? karena yang kami baca ada sebuah shelter di Cisentor. Tak ingin berlama – lama di sini kami meneruskan perjalanan. Setelah melewati hutan, jalur berikutnya berupa sabana. Kami sempat bertemu dengan babi hutan aka celeng. Matahari sudah hampir tenggelam dan gelap semakin menyelimuti Bumi. Kami tiba juga di Cisentor sekitar pukul 18.00. Ada pendaki lain yang berkemah. Mereka berasal dari Tanjung Priok – Jakarta. Secepatnya kami mendirikan tenda karena dinginnya malam sudah menggelitik kulit. Kami sepakat untuk mendaki ke puncak esok hari bergabung dengan team TanjungPriok yang berjumlah 3 orang tapi sayangnya saya hanya mengingat nama Sdr. Bagus saja (yang lain namanya sapa ya..)

Kamis, 24 September 2009

Pukul 03.00 dini hari kami sudah bersiap menuju puncak. Sebenarnya ada niatan saya untuk tidak ikut, karena kaki ini sudah sedemikian pegal dan sakit. Saya tetap memaksakan diri. Sdr. Bagus sebagai leader karena dialah yang sudah pernah menuju puncak. Harapan kami adalah mendapatkan sunrise ketika berada di puncak. Karena gelap, kami sempat beberapa kali harus menemukan jalur yang tepat menuju puncak.  Pukul 05.00 kami tiba di Rawa Embik. Di Rawa Embik terdapat mata air yang mengalir. Mitosnya tempat ini adalah tempat di mana Dewi Rengganis menggembalakan kambingnya sehingga disebut dengan Rawa Embik. Beberapa kali saya sempat tertinggal dengan rombongan. Stamina yang sudah habis ini memaksa saya terus tertinggal di belakang.

Team sempat berhenti sejenak karena adanya 2 jalur yang berbeda. Apakah ini yang dinamakan persimpangan puncak? karena ketidaktahuan kami dan karena Sdr. Bagus sudah pernah ke sini, maka kami lanjutkan pendakian ke arah kiri sesuai dengan petunjuk Sdr. Bagus. Akhirnya kami tiba di kawasan puncak. Tak salah lagi tempat yang kami kunjungi sekarang ini adalah Puncak Dewi Rengganis. Bekas candi masih tersisa tapi sangat disayangkan sisa candi tersebut harus tercorat coret. Kreatifitas pendaki yang sangat merugikan. Puas menikmati keindahan Puncak Rengganis, Noel, Antoni, dan Latif berniat mendaki bukit kapur sedangkan saya dan team Bagus tidak ingin memaksa tubuh untuk terus mendaki ke atas. Kami menunggu di kawasan Puncak, akan tetapi karena angin bertiup kencang kami berempat memutuskan untuk menunggu mereka bertiga di kawasan Candi.

Agak lama kami menunggu tetapi mereka tidak kunjung turun dan akhirnya team Bagus memutuskan untuk kembali ke Cisentor duluan. Tinggalah saya sendiri menunggu mereka. 20 menit lewat saya menunggu tapi mereka juga tidak kembali. Berulang kali saya teriakan nama mereka tapi tidak ada sahutan. Saya kembali ke kawasan puncak dan berteriak teriak tetapi tak ada sahutan. Saya sempat melihat jejak kaki turun, apakah mereka sudah turun? Saya memutuskan untuk kembali ke Cisentor saja dan berlari menyusul team Bagus dan menanyakan apakah mereka bertemu dengan Noel, Antoni, dan Latif ? enggak tuh jawab mereka. Kekuatiran melanda saya, ke manakah mereka pergi? Keputusan saya tetap kembali ke Cisentor. Semoga mereka berpikir juga kalau saya kembali ke Cisentor.

Sesampai Di Rawa Embik kami beristirahat dan mengisi air. Kami membicarakan kemungkinan yang terburuk kalau saja terjadi sesuatu dengan mereka bertiga. Setelah 45 menit beristirahat, munculah Noel dan Latif.

Saya : “Woi, darimana aja u?  Lah si Antoni mana?

Noel : “dari Puncak Argopuro, bukannya Antoni dah turun tadi? tadi gw suruh dia untuk ngejar u..”

Nah loh, yang dua sudah ketemu tinggal seorang lagi yang hilang. Setelah berembuk kami sepakat untuk turun dulu ke Cisentor dan bila dia tidak ada maka mau tak mau kembali mencari dia di kawasan puncak. Noel dan Latif pun berlari menuju Cisentor sedangkan saya berempat berjalan biasa karena kaki sudah tidak mau diajak kompromi. Syukurlah ternyata dia sudah ada di Cisentor. Ketika saya tanyakan ke mana dia pergi dia menjawab mengejar saya tapi ga ketemu – temu sampai Cisentor. Dan hebatnya si Antoni tidak minum selama turun dan dia hanya memakan buah – buah kecil  untuk mengobati haus. Kegiatan berikutnya adalah memasak. Menu makan pagi sekaligus siang kali ini adalah nasi ditambah dengan teri goreng. Mantap… Setelah beristirahat cukup lama, kami berkemas – kemas. Di sinilah kami berpisah dengan team Bagus karena mereka akan turun di Bremi sedangkan kami turun di Baderan. Kami meneruskan perjalanan kami pukul 2 siang.

Cikasur merupakan sebuah lapangan luas yang luasnya bisa dikatakan melebihi Alun – alun SuryaKencana di Gunung Gede. Cikasur sendiri bekas landasan pesawat terbang pada jaman penjajahan Belanda dan Jepang. Kami sampai di Cikasur pada pukul 16.30 dan sempat bertemu dengan pendaki lain yang akan melanjutkan perjalanan ke Cisentor. Kami mendirikan tenda di bekas reruntuhan bangunan. Setelah selesai kami memasak. Menu makan malam adalah nasi ditambah pecel salada air. Suara Merak menemani kami makan malam sampai kami tertidur di peraduan.

Jumat, 25 September 2009

Menu makan pagi adalah bubur kacang hijau dan tumis selada air. Selada air tumbuh subur di sungai Cikasur. Ternyata banyak penduduk lokal yang jauh – jauh dari Baderan hanya untuk memanen salada air dan menjualnya. Pukul 09.30 kami bersiap melanjutkan perjalanan. Jalur pendakian dari Bremi tampak lebih terawat hal itu ditandai dengan patok patok yang terpasang. Tidak ada lagi makan siang kali ini karena kami ingin mengejar angkot terakhir yang berhenti bekerja di atas jam 3 sore. Kami terus memacu waktu tanpa istirahat yang lama. Akhirnya kami tiba di Baderan sekitar pukul 16.30 dan angkot terakhir telah berangkat beberapa menit yang lalu….Rencananya saya dan Noel akan terus ke Surabaya menggunakan ojeg sementara Antoni dan Latif akan menginap semalam di Baderan. Tiba – tiba sebuah mobil carrie datang dan supirnya memesan kopi pada warung. Supir tersebut menawarkan tumpangan kepada kami menuju Besuki. Kami tak mau menolaknya dan mengiyakan ajakan supir tersebut. Kami berpisah dengan Antoni dan Latif di Besuki. Selamat tinggal kawan, jumpa lagi di lain kesempatan.

Foto – foto lain dapat dilihat di sini