16 Agustus 2018, selepas jam pulang kantor saya dan Vani bergegas menuju Lebak Bulus. Dari halte Transjakarta, kami berjalan sekitar 200 meter menuju ke Sepolwan untuk naik bus Primajasa jurusan Garut. Sekitar jam 21.00 kami baru bisa mendapatkan bus karena beberapakali lewat selalu penuh. Tarifnya sendiri adalah 52 ribu untuk AC Ekonomi dengan kursi 2-3.
17 Agustus 2018. Kami sampai di Terminal Guntur sekitar pukul 06.00 pagi. Jalan yang macet di Cikampek membuat waktu kami sedikit terhambat. Dari terminal kami melewati pasar untuk naik ELF jurusan Cikajang – Leuwi Panjang. Dengan tarif 20ribu / orang, kami turun di pertigaan Cisurupan. Setelah menambah perbekalan di supermarket terdekat, 2 orang pengendara motor menawarkan jasanya untuk mencapai Camp David. Tarif yang mereka minta adalah 40ribu/orang dan saya pun menolaknya. “Kalau 50ribu untuk 2 orang, saya masih mau Bang. Ini lebih baik saya naik pick-up aja yang lebih murah.”
Untuk ke Camp David, mobil pick-up biasanya mengangkut 10-12 orang dengan tarif 20ribu/orang. Karena kami hanya berdua, maka harus menunggu atau bergabung dengan pendaki lain. 2 orang tukang ojeg tersebut ternyata tidak menyerah begitu saja. Mereka menawarkan menjadi 30ribu/orang dan dengan pertimbangan waktu kami pun mengiyakan saja. Sampai di gerbang pos camp David, kami harus membayar tiket masuk sebesar 30ribu/orang dan tiket kemping sebesar 35ribu/orang. Setelah menunaikan hajat, kami bergegas memulai pendakian. Rencananya kami akan membuka tenda di Goeberhut, mengingat minggu ini libur panjang dan akan ada banyak pendaki yang datang, pastinya camp Pondok Saladah seperti pasar.
Pendakian dimulai dari Kawah hingga sampai di pos 7. Panasnya Matahari dan godaan semangka menyurutkan langkah kami. Setelah cukup lama beristirahat di pos 7, kami berjalan kembali melipir punggungan, melewati sungai yang debit airnya menyusut, dan berbagi jalan dengan motor trail yang mengangkut banyak matras dan gas elpiji 3KG. Dari pengendara motor, saya mengetahui ternyata ada pendakian massal dengan peserta mencapai 100 orang.. Sampai Lawang Angin sudah jam 12.00, saatnya makan siang di warung. Nasi goreng dan minuman karbonasi rasa lemon yang dituangkan ke dalam gelas berisi es menjadi pilihan saya, sedangkan Vani lebih memilih kacang pilus. Di Lawang Angin saya juga bertemu dengan Mang Ipin. Nama beliau saya kenal dari EAN (Eiger Adventure News) Pada tahun 2002, warungnya di Camp David terhempas letusan vulkanik Gunung Papandayan. Sudah lebih dari 10x bolak-balik ke Papandayan, baru sekarang saya bisa menjumpai beliau.
Setelah mendirikan tenda dan tidur siang, sekitar pukul 16.00 kami mengunjungi Hutan Mati. Untuk mencapainya kami harus melewati Pondok Saladah yang ternyata sudah banyak tenda berdiri. Huft, untung saja tidak mendirikan tenda di sini, pengalaman beberapa kali nenda, malam hari yang seharusnya sunyi malah diisi dengan teriakan2 tidak jelas pendaki yang tidak bertanggung jawab. Di Hutan Mati saya juga melihat beberapa pendaki mengambil ranting atau batang kayu. Entah mengambilnya karena memang sudah patah dan jatuh di tanah atau dengan cara mematahkan bagian dari sebuah pohon yang telah hangus terbakar. Tau sendirikan, kalau pohon yang telah mati itu rapuh dan mudah dipatahkan batangnya.
Kami kembali ke Goeberhut ketika waktu menunjukan pukul 18.00. Tampak salah satu warung sudah menyalakan lampu dan sedang membuat api unggun. Kami pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. “Bu, Indomie kuah 2, pake telor!”. Kapan lagi bisa berhangat ria sembari makan Indomie kuah. Karena masih terasa lapar, di tenda kami juga menggoreng nugget. Selesai masak, persiapan untuk tidur dan rencananya saya akan mengambil foto star trail. Pasang tripod dan memposisikan kamera sedemikian rupa, jepret, dan tinggal tidur. Ternyata sampai tengah malam masih ada pendaki yang datang di Goeberhut dan tenda sebelah ingin membuat api unggun. Hm.. bakalan gagal ini fotonya..
18 Agustus 2018. Pukul 05.00 pagi sudah riuh dengan para pendaki pencari Matahari terbit. Terbatasnya area spot foto di Goeberhut membuat mereka harus bergantian untuk selfie maupun wefie. Semburat kuning yang memancar menandakan sang surya akan muncul sebentar lagi. Lalu muncul pertanyaan, bagusan sunrise di sini atau di Tebing Sunrise ya…
Selesai memoto Sunrise, saya kembali ke tenda dan melanjutkan tidur hingga pukul 08.00. Bangun dan masak sarapan menjadi agenda selanjutnya. Kami memutuskan untuk menambah 1 malam lagi dan rencananya akan bermalam di tebing Sunrise di pos 7. Di sana kami mengutarakan keinginan kami kepada security yang berjaga dan membayar tiket kemping kepadanya. Penuturan petugas, Tebing Sunrise ternyata rawan longsor dan disarankan ada guide yang ikut. Kami juga bertemu dengan Kang Asep pemilik salah satu warung dan juga merupakan ketua guide Papandayan. Dia sedang menunggu tamunya yang sedang berkunjung ke hutan mati. Rencananya mereka akan buka tenda di Tebing Sunrise. Sambil menunggu mereka, kami berdua memutuskan untuk explore Kawah Papandayan. Berbekal petunjuk Kang Asep akhirnya kami sampai di Danau Kawah.
Pulang dari Kawah sudah ada tamu Kang Asep yang ternyata tidak jadi kemping di Tebing Sunrise. Dan dengan ini kami memutuskan untuk mendirikan tenda di belakang warung. Malam pun datang, karena hanya ada 1 tenda yang berdiri maka saya mencoba untuk membuat foto star trail. Pasang Tripod atur kamera, jepret, dan tinggal tidur..
Leave A Comment