Siapa yang tak mengenal Gunung Semeru? Gunung tertinggi di pulau Jawa dengan puncaknya yang kokoh angkuh berdiri bernama Mahameru. Menjadikannya sebagai magnet bagi para pendaki untuk berada di puncaknya serta menjamah lembut pasir yang bertebaran di kawasan puncak tersebut. Merupakan suatu kebanggaan tersendiri kala itu, bila terselip sebuah foto diri di binder dengan berlatarkan Kawah Jonggring Saloko, wah hebat ya, si Andri udah pernah ke Semeru.. Tak ayal hal seperti itu bisa membuat senyum-senyum sendiri serta membuat hidung kembang kempis menahan rasa bangga.
Berbekal pengetahuan yang didapat dari warnet di Taman Topi, Semeru dengan ketinggian 3676 mdpl mempunyai medan yang susah didaki ketika kita akan menuju puncaknya. “Sudah naik 2 langkah tapi merosot turun lagi 1 langkah”, begitu kata orang-orang yang sudah pernah berhadapan dengan lautan pasir yang menyelimuti jalur pendakian ke puncak Mahameru. Pendakian ke Semeru merupakan pendakian yang istimewa dan menjadi target terakhir saya sebelum lulus SMA. Teringat tentang kematian Soe Hok Gie dan Idhan Lubis di puncak Mahameru karena menghirup gas beracun menjadikan pendakian ini bukan sekadar main-main belaka. Fisik terus saya latih dengan berlari minimal 10x putaran lapangan sepakbola Sempur setiap Senin serta mendaki Gunung-Gunung lain di Jawa Barat atau Jawa Tengah.
Ajakan pendakian telah disebar dan terkumpulah 6 orang pria teman sekelas dan seasrama yaitu Eko, Heri Jambe, Anton, Basil, Yudi, dan saya sendiri. Kami memutuskan pendakian ini dilakukan selepas mengikuti UAN. Setelah seminggu lamanya otak diperas untuk memikirkan soal-soal Ujian Akhir Nasional, hari yang dinanti telah tiba yaitu hari keberangkatan saya dan teman-teman. Carriel 50L berwarna biru hasil pinjaman dari adik kelas, sepatu gunung hitam yang dibeli dengan menabung uang saku selama beberapa bulan, celana panjang kargo warna cokelat yang bisa dijadikan celana pendek hadiah ulang tahun ke-17 dari nyokap, serta kaos oblong abu-abu dengan gambar PEACE sudah siap saya kenakan.
Setelah selesai berkemas, kami bersiap berjalan menuju Stasiun Bogor. Tak lupa kami berpamitan kepada setiap orang yang kami lewati seperti Staff Asrama, para pekerja di Dapur, guru-guru, adik kelas di Asrama, para siswi sekolah Budi Mulia baik yang kami kenal maupun tidak kenal, Satpam komplek, Kang Asep tukang es doger, tukang sotomie Bogor. “Doakan kami ya, supaya bisa menggapai puncak para Dewa..”. Dengan beban Carriel di pundak serta senyum yang terus mengembang, kami berjalan beriringan melintasi Jalan Kapten Muslihat dan kemudian berbelok ke Pasar Anyar untuk menuju ke Stasiun.
Hampir jam 9 pagi kereta tiba di Stasiun Senen dan kami bergegas menuju loket untuk membeli tiket kereta Gaya Baru Malam Selatan tujuan Surabaya Gubeng yang berangkat siang nanti. Dari Surabaya Gubeng baru kami berganti kereta menuju Malang. Kenapa tidak naik kereta Matarmaja yang langsung ke Malang? Ini demi efisiensi waktu saja. Kereta GBMS lebih dahulu berangkat daripada Matarmaja dan ongkos yang dikeluarkan lebih murah yaitu selisih 11.000. Bagi kami semua yang masih menengadahkan tangan ke orangtua, selisih tersebut sangat lumayan. Di kantin sekolah, nasi ikan tongkol Cuma 2ribu perak, coba bayangkan bisa berapa hari kami bisa makan lauk tongkol?. Selain itu Yudi yang memang mempunyai kampung halaman di Batu – Malang pernah berikrar bahwa dia tidak akan pernah naik kereta Matarmaja lagi. Hal itu dikarenakan selain panas, pengamen resek, ada juga tukang jualan yang suka teriak-teriak menjajakan barang dagangannya hingga subuh. Kalau saya tanya ke dia, “naik GBMS kan sama juga panasnya Yud? Secara kita naik kelas ekonomi bukan kelas eksekutif..” sambil melengos dia menjawab, “ah bodo amat, pokoknya gw ga mau lagi naik Matarmaja si kaleng neraka itu..!!”
Di dalam kereta yang melaju kami hanya bisa bermain kartu, tidur, mondar-mandir di gerbong, bergelayutan di pintu kereta, merokok bagi mereka yang memang hobi merokok. Jika beruntung kami bisa melihat dan menggoda anak putri paman petani yang sedang menanam padi di Sawah.”Hei nona manis, lagi apa?” dan apabila mereka membalasnya dengan tersenyum, giranglah kami semua. Pokoknya norak sekali waktu itu. Untuk makan siang dan sore, kami menunggu ibu-ibu penjual nasi atau pecel. Malam hari kami semua terlelap dengan posisi tidur duduk miring ke kiri, miring ke kanan, atau berbaring di lantai dengan alas koran. Sampai Surabaya kami langsung berganti kereta menuju Malang.
Dari stasiun Malang, kami naik angkot ke Pasar Tumpang. Di pasar inilah sudah ada puluhan jeep yang siap mengantar kami ke desa Ranu Pani. Sekali jalan, pemilik Jeep menentukan tarif sebesar 375ribu dan 1 jeep biasanya memuat 15 orang pendaki. Saya sendiri sempat bingung, Jeepnya kecil tapi bagaimana caranya muat 15 orang? Mau duduk di mana? Kebingungan saya pun terjawab, saya yang awalnya sudah dalam posisi duduk disuruh berdiri oleh supir Jeep. Bagian belakang Jeep yang hanya berukuran 1,5m x 1,5m dijejali 12 orang pendaki, dan 3 sisanya bergabung dengan supir di bagian depan. Perjalanan ke Ranu Pani sendiri hampir memakan waktu 2 jam dengan melewati jalan turun naik. Ketika jalan sedang menanjak, maka Jeep akan berjalan lambat seperti kehabisan nafas dan ketika jalan turunan, Jeep meluncur dengan cepat disertai teriakan para pendaki. “Pir, rem pir”. Jeep sempat juga berhenti di persimpangan jalan Ranu Pani – Bromo untuk sejenak melihat pemandangan bukit Teletubies. Pak Supir juga mengizinkan untuk duduk di atas kap mesin depan Jeep bagi mereka yang sudah lelah berdiri.
Menjelang sore, kami tiba di Ranu Pani dan langsung mencari warung makan. Dari obrolan dengan pemilik warung, kami baru mengetahui bahwa minggu lalu ada syuting Jejak Petualang. Memang belum jodohnya ketemu dengan Riyanni Djangkaru. Setelah melakukan registrasi, kami langsung memulai perjalanan ke Ranu Kumbolo. Ditemani sinar bulan dan cahaya senter kami berjalan dalam diam. Entah karena merasa lelah menempuh perjalanan dari Bogor, Jakarta, Surabaya, Malang atau entah karena kekenyangan nasi soto.
Ranu Kumbolo merupakan Danau dengan luas 15hektar dan berada di ketinggian sekitar 2.389 mdpl. Jalur menuju Ranu Kumbolo masih terbilang datar. Setelah melewati kampung penduduk Kami disambut gapura besi yang bertuliskan selamat datang para pendaki. Setelah beristirahat sebentar kami melanjutkan perjalanan. Jalur yang awalnya besar menjadi setapak dan didominasi oleh tanah becek. Sepanjang perjalanan kelap kelip kunang-kunang menemani kami. Tak terasa sudah 2 jam kami berjalan dan tiba di Danau Ranu Kumbolo sekitar pukul 8 malam. Dengan tubuh mengigil, cepat kami mendirikan tenda di pinggiran Danau. Sebenarnya tenda yang kami bawa adalah tenda Dome dengan kapasitas 4 orang. Mau tidak mau tapi harus mau, kami harus tidur berhimpitan tiap malam selama pendakian. Sebelum tidur, kami sepakat bahwa tidur yang nyenyak bisa didapat ketika perut sedang tidak lapar. Jadilah kami memasak mie dan air panas untuk menyeduh kopi dan teh.
Mie instant merupakan makanan pokok bagi kami waktu itu, Sarapan pagi mie kuah, makan siang mie instan yang dimakan dengan cara diremukan, makan malam mie goreng dengan airnya yang tidak dibuang, besoknya mie kuah dengan sarden.. Begitulah tergantung kreatifitas yang diserahi tanggung jawab memasak. Kompor kami terbuat dari dari kaleng bekas minuman dengan bahan bakar spritus. Panci untuk memasak pun kami pinjam diam-diam dari dapur asrama. Beruntungnya saya membawa gelas alumunium sehingga saya tidak perlu repot-repot membuat gelas dari botol minuman bekas. Gelas alumunium itu sendiri yang menemani saya meminum kopi selama setahun terakhir di asrama. Dulu pernah punya gelas beling, tapi selalu pecah.
Setelah menyelesaikan makan dan minum, piring, gelas, panci kotor sengaja kami diamkan di luar tenda. Kemalasan sudah menjalar, biarlah besok pagi saja mencucinya. Waktunya untuk tidur, dengan formasi ikan sarden, kaki kepala kaki kepala menutup malam itu. Sungguh beruntung bagi mereka yang tahan dengan bau kaki, karena sepatu kami basah semua, bau busuk tidak dapat dihindari.
Saya sempat kaget ketika alas tidur saya menjadi basah. Sempat berpikir apakah air Danau sedang pasang. Tubuh letih, perut kenyang membuat saya tidak menyadari bahwa hujan sedang turun. Dan karena semua terburu-buru ketika mendirikan tenda kemarin, kami lupa membuat parit di sekitar tenda. Alhasil alas tenda menjadi basah terkena rembesan air hujan. Karena ada banjir lokal, terpaksa kami semua melanjutkan tidur dengan cara duduk di atas sandal. Paginya, setelah mencuci peralatan masak, masak sarapan pagi, mencuci peralatan masak lagi, menjemur pakaian yang sempat basah, mengemas tenda, kami kembali melanjutkan perjalanan.
Tanjakan Cinta, dua buah bukit di atas Ranu Kumbolo yang menyatu menyerupai bentuk hati dengan mitos “Barangsiapa yang berhasil sampai ke atas bukit tanpa menoleh dan berhenti, niscaya maka akan dimudahkan persoalan cintanya”. Meski bernama Tanjakan Cinta, saya benar-benar tidak mencintainya. Beban berat di punggung dengan tangan kanan memegang dirigen air 5lt, serta keinginan menguji mitos membuat saya terengah-engah hingga kehabisan nafas ketika berjalan mendaki bukit tersebut. Meski telah berhasil mencapai puncak bukit Tanjakan Cinta dengan kecepatan rendah, di kemudian hari mitos di atas tidak bisa dipertanggungjawabkan. Karena nama seorang gadis yang saya sebutkan terus di dalam hati telah menikah dengan orang lain.. (“Memangnya nama siapa yang elu sebut dalam hati?”, “Dian Sastro bro..!” :p)
Singkat kata, kami sudah berada di Arcopodo petang hari setelah melewati beberapa pos seperti Oro-oro Ombo, Cemoro Kandang, Jambangan, dan Kalimati. Tidak seperti di Kalimati, di Arcopodo hanya bisa memuat tenda 4 itu pun tidak datar dan sedikit miring. Sudah ada 1 tenda berdiri ketika kami datang, 2 orang pendaki yang berasal dari Jakarta. Setelah memasak mie untuk santap sore dan agar-agar untuk pendakian ke puncak, kami tidur lebih awal karena jam 12 malam nanti kami akan mencoba manggapai atap pulau Jawa.
Pukul 12 malam, Anton memutuskan untuk tidak ikut ke puncak karena lelah serta kurang tidur. Gemuruh angin yang berhembus kencang serta dinginnya malam tidak menyurutkan langkah kami berlima untuk tetap menuju puncak Mahameru. Setelah berdoa dan berbekal senter yang masih menggunakan lampu neon, kami berjalan menembus pekatnya malam. Pohon-pohon sudah semakin rendah hingga sampai perbatasan vegetasi antara hutan dan lautan pasir. Yang tadinya hanya angin, mendadak langit mencurahkan hujan rintik yang lambat laun menjadi sedikit deras. Saya, Jambe, Noel segera menggenakan Jas Hujan sedangkan Basil dan Yudi memakai Ponco.
“Setelah Arcopodo, kalian akan menemukan sebuah Cemara yang besar dan hanya ada satu saja. Untuk naik maupun turun dari puncak lihat saja ke pohon itu. Jadikan cemara itu sebagai patokan.” Petuah dari bapak rumah makan di Ranu Pane. Ya, kami telah sampai di Pos Cemara Tunggal. Sampai saat ini hanya kami berlima yang mendaki, kebimbangan menyergap hati saya, apakah pendakian ke puncak ini dilanjutkan atau segera turun karena tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti dan takutnya akan menjadi badai. Hal ini saya sampaikan kepada kelompok dan setelah berembuk, tim memutuskan untuk rehat sejenak di Cemoro Tunggal sambil menunggu hujan reda.
30 menit waktu berjalan, hujan belum mau mereda. Suasana tim menjadi agak panas karena adanya perdebatan antara saya dan Eko. Saya mengusulkan untuk turun saja sedangkan Eko membuat argumentasi, “sudah jauh-jauh datang dari Bogor terus ga nyampe puncak, sama aja boong”. Ya benar, siapa yang tidak mau berdiri di Puncak Mahameru? Kecuali Anton yang mungkin sekarang sedang tidur dengan nyenyak karena tidak lagi berdesakan di dalam tenda di Arcopodo. Kami memutuskan untuk terus mendaki, hingga 1 jam berikutnya hujan angin yang ditemani petir mengagetkan kami semua. “Ayo turun, ayo turun..badai ini..!” saya berteriak sambil berlari menuruni pasir diikuti oleh yang lain. Tak sampai 10 menit kami berjalan turun melewati Cemoro Tunggal hingga hampir memasuki batas vegetasi.
Dua buah sorot senter dari pendaki Jakarta menghentikan langkah kami. Mereka menanyakan kenapa balik arah ke Arcopodo sekaligus memberikan kabar bahwa teman kami Anton sedang tidur di tenda mereka. Kami memaklumi pindah tidurnya Anton ke tenda mereka, karena dari kami berenam, hanya Eko sajalah yang sudah memiliki Sleeping Bag. Mungkin saja di tenda mereka telah tersedia SB yang tebal dan hangat. Kenapa tidak memakai SB Eko? Hanya Anton sajalah yang mengetahui jawabnya. Setelah berdiskusi dengan 2 pendaki Jakarta, kami memutuskan untuk mengikuti mereka, kembali mencoba menapaki jalur ke puncak.
Tak ada lagi keraguan menyelimuti hati. Hujan memang belum berhenti tapi petir tidak lagi menyambar. Dengan mantap kami berjalan melewati lagi Cemoro Tunggal. Pertengahan jalan, dengan tenaga yang hampir habis, saya dan yang lainnya menyemangati Basil yang hampir menyerah. “Sudah gw di sini saja, gw dah kuat jalan ke Puncak, elu foto gw aja di sini, biar ada kenang-kenangan.”, “Ayo Sil, dah dekat itu, itu dah keliatan puncaknya..”
Perjalanan ke puncak ini memang menguji nyali serta mental para pendaki. Ketahanan tubuh serta kekuatan fisik yang berbeda-beda tiap orang, membuat kami tidak lagi berjalan beriringan. Hujan sudah berhenti dan keuntungannya adalah pasir yang kami pijak menjadi lebih padat sehingga slogan sudah naik 2 langkah tapi merosot turun lagi 1 langkah menjadi tidak berlaku. Saya yang sedang merenung kapan habisnya tanjakan pasir ini tiba-tiba mendengar teriakan dari Eko,”woi Puncak woi..”. Tenaga yang hampir habis sekejap seperti pulih kembali. Langkah saya menjadi ringan dan dengan cepat menyusul Eko dan Heri Jambe yang telah tiba lebih dulu di Puncak. Saya disambut mereka berdua yang telah cengengesan duduk di sebuah batu. Lalu dengan perlahan tapi pasti, muncul lah Basil yang diikuti oleh Yudi. Akhirnya kami berlima bisa menjejakan kaki di Gunung tertinggi di Pulau Jawa ini. Sujud syukur dan terima kasih kepada Tuhan karena berkat perlindunganNya akhirnya kami bisa menggapai puncak para Dewa. Rasa haru dan mata berkaca-kaca tak bisa menutupi kegembiraan kami.
Setelah mengambil beberapa foto dan memakan agar-agar, kami segera turun dari puncak. Yang tadinya perjalanan naik bisa memakan waktu hingga 5 jam, maka perjalanan turun hanya 40 menit saja sampai Arcopodo. Tetap patokan kami ketika turun adalah Cemoro Tunggal, karena apabila melenceng, sudah bisa dipastikan kami salah arah dan yang paling tragis bisa jatuh ke jurang sedalam 75meter yang dikenal dengan nama ‘blank 75’. Setelah sarapan di Arcopodo, kami berencana langsung turun ke Ranu Pani karena sudah bosan makan mie instant selama tiga hari berturut-turut.
Kami sampai di Ranu Pani ketika hari sudah menjelang gelap sekitar pukul 19.00. Di depan loket tiket pendaftaran, kami hamburkan carriel serta sepatu begitu saja dan dengan setengah berlari bertelanjang kaki, kami langsung bergegas menuju warung makan. Perut yang lapar serta kerinduan terhadap nasi membuat kami gelap mata. Satu porsi nasi soto tidak cukup membuat kami puas. Setelah makan malam yang cukup beringas, kami kembali ke depan loket untuk membereskan perlengkapan, akan tetapi begitu sampai di depan loket, kami tidak menemukan sepatu dan carriel yang telah kami tinggal sebelumnya. Di tengah kebingungan, sesosok pria menghampiri dan berkata bahwa semua perlengkapan yang ada telah ia masukan ke dalam kantor. Hal itu untuk mencegah hilangnya barang tersebut, karena semakin marak kasus pencurian terhadap pendaki. Malamnya kami menginap di basecamp pendakian dan keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan menuju pusat kota Malang.
Catatan tambahan: Pendakian ini terlaksana pada tahun 2004 dan merupakan tulisan perbaikan dengan judul mahameru-puncak-para-dewa tahun 2012.
Lawas sekali, Paman. :D