Training program dimulai tgl. 15 Desember di Nepal.
34 pendaki yang terdiri dari orang-orang sipil dengan sejumlah pengalaman mendaki gunung, dan para tentara yang tidak berpengalaman di gunung tapi sangat fit dan disiplin, adalah anggota team permulaan. Dari 34 orang ini akan disaring dan diambil yang paling mampu. Kriteria penyaringan dilihat dari kesehatan, stamina, kemampuan, dan mental. Pada fase ini para calon pendaki belajar teknik tali temali dan penggunaan tangga, juga teknik dasar pemanjatan.

Komunikasi adalah problem kami yang terbesar, saya mengetahuinya setelah semua terlambat. Bukan hanya perbedaan bahasa yang membuat frustasi, tapi juga tidak lengkapnya alat komunikasi. Selayaknya setiap anggota tim harus dilengkapi dengan alat komunikasi. Saya mengusulkan agar dari basecamp selalu ada kontak langsung dengan koordinator ekspedisi di Kathmandu.
Selain itu saya menuntut untuk mendapatkan setiap hari laporan cuaca dari setasion meteorologi di Bandara Kathmandu. Sisi baiknya, lantaran tim ini merupakan tim militer, maka pihak militer Nepal pun ikut memberikan bantuan.

Perwira ekspedsii kami, Monty Sorongan yang memiliki kemampuan berbahasa Inggris paling bak berperan sebagai kontak kami dengan Kathmandu. Untuk menghindari kesalah pahaman, kami menggunakan Bahasa Inggris dalam ekspedisi ini.

Untuk ekspedisi ini saya berhasil mendapatkan 2 orang alpinis terkenal dari rusia untuk bekerja sama dengan kami: Vladimir Bashkirov dan Dr. Evgeni Vinogradski.
Bashkirov 45 tahun, berpengalaman selama 15 tahun mengkoordinir ekspedsii di daerah yang sulit, dan mengenal rute Pamir dan Kaukasus, dan berhasil mendaki 6 gunung diatas 8000m, dua antaranya Mt.Everest. Suatu keuntungan dia mau berkerja sama dengan kami. Tak seperti saya, dia pendiam namun diplomatis sekaligus supel dan yang pasti fasih berbahasa inggris. Di Rusia dia terkenal sebagai kameraman-petualangan dan produser film. Dialah yang akan membuat filem ekspedisi ini.

Dr. Evgeni Vinogradski 50 tahun, 7 kali juara panjat tebing Rusia dan 25 tahun berpengalaman sebagai pelatih pendaki gunung sekaligus dokter olah raga,. Evgeni teman baik saya. Bersamanya kami mendaki Kanchenjunga pada 1989.
Bagi saya dia adalah “Garuda Tua”, yang telah mendaki lebih dari 20 gunung berketinggian 7000m, dan 8 gunung berkentinggian lebih dari 8000m, termasuk 2 pendakian Everest, salah satunya sebagai pimpinan ekspedisi.

Ang Tshering dari Asian Trekking di Kathmandu bertugas mengurusi logistic dan mencari sherpa untuk ekspedisi. Kami bersyukur, karena mendapatkan Sherpa Apa von Thami 37th, 7x menaklukkan Everest sebagai Sirdar (pemimpin Sherpa) dan First Climber Sherpa (Sherpa yang ikut ke puncak) utk bekerja dengan kami. Sherpa berada dibawah komando Ang Tshering dan staf dari Indonesia. Pekerjaan mereka seperti biasa di basecamp. Selain itu mereka harus memasang fix rope (tali tetap) pada rute di atas Breaking Ice (Eisbruch), menyiapkan logistik di high camp dan di hari summit attack ikut mengiringi sebagai pembawa tabung zat asam bagi yang mendaki sampai ke puncak.

Pada tgl. 6 Desember saya terbang dari Jakarta ke Amerika untuk cek-up wajah dan muka sebaagi akibat dari kecelakaan bis yang saya alami di bulan Oktober.

Bashkirov dan Vinogradski memimpin Training di Paldor Peak, Ganesh Himal, yang dimulai pada tgl. 15 Desember. 34 orang pendaki, dimana separuh dari mereka tidak mempunyai pengalaman High Alpin, berusaha mencapai puncak Paldor (5900m). 17 orang berhasil sampai ke puncak. Mereka bertahan 21 hari dan perlahan beraklimatisasi dengan cuaca musim dingin.

Di bulan Januari dan Februari 34 pendaki melakukan Training yang kedua di Island Peak(6189m). 16 pendaki yang berhasil adalah pendaki yang telah berhasil juga di Paldor sebelumnya. Mereka berada disana selama 20 hari dibawah tempratur minus 40 derajat Celcius dan topan musim dingin yang ganas.
3 hari 3 malam di ketinggian 6000m dengan keadaan cuaca yang sangat berat mereka harus mendaki dan turun dengan rentang ketinggian 1000m dalam waktu kurang dari 5 jam.

Training ini sangat optimal. Saya sendiri menggelengkan kepala: Paldor, Island Peak, Everest. Sebagai training, program ini bukan untuk sembarangan orang.

Kembali di Kathmandu, Bashkirov dan Vinogradski membuat daftar untuk Kolonel Eadi yang memuat nama 16 orang peserta training yang berhasil berikut kecepatan, kemampuan aklimatisasi, kesehatan dan motivasi mereka. Pendaki dari Kopassus, walaupun mereka tidak berpengalaman, tapi sangat berambisi dan disiplin serta lebih termotivasi dalam situasi sulit.
Di penyaringan terakhir tinggal 10 Kopasus dan 6 sipil. Kami mengusulkan satu rute pendakian saja, yaitu lewat jalur selatan, namun dtolak. Indonesia telah mendapatkan Richard Pavlowski utk memimpin satu tim Indonesia lagi yang akan mendaki dari sisi utara.

Dan akhirnya kami memutuskan 10 orang pendaki ke basecamp di sisi selatan, dan 6 orang pendaki bersama Richard akan pergi ke Tibet. Setelah Island Peak, kam beristirahat selama 26 hari. Kami harus menjadi tim pertama di musim ini yang mendaki dan melalui jeram es Khumbu.

Helikopter Rusia membawa kami pada tgl. 12 Maret dari kota Kathmandu yang terpolusi parah ke Luka (2850m). 10 pendaki, 3 trainer Rusia dan 16 Sherpa ikut didalam Helikopter.
Kami ingin ke Base Camp dan terus ke puncak Everest. Satu cita-cita yang sangat ambisius. Luka adalah salah satu daerah yang saya membuat saya selalu merasa bebas dan merdeka.
Saya mencintai gunung. Disinilah rumah saya. Orang hanya bisa mengerti perasaan saya, kalau sudah pernah terbang dipagi hari dengan Helikopter di atas pegunungan ini, dan turun di sana, di sebuah tempat yang sunyi dan damai di tengah pegunungan yang tak ada duanya di dunia. Pegunungan yang puncak2nya sangat megah menantang dengan punggungan berbentuk tulang tengkorak tajam berselimut udara yang bersih bagai kristal.
Dari “Kemuliaan dan keluhuran ini, saya merasakan betapa rapuh dan kecilnya diri saya dibandingkan dengan apa yang saya alami disini”.

Seperti yang selalu saya rasakan, saya akhirnya menginjak tanah tempat untuk apa saya dilahirkan. Tahun ini ada 17 team ekspedisi lain di basecamp. Saya berusaha memisahkan tim kami dari tim-tim lainnya, untuk menghindari hal-hal yang tidak saya inginkan.
Setelah itu kami berdiskusi tentang sherpa mana saja yang akan memasang tali tetap dan tangga untuk melintasi Breaking Ice (Eisbruch) yang pada akhirnya annti juga akan digunakan oleh tim-tim lain. Biasanya pekerjaan ini akan dilakukan oleh Sherpa dari satu ekspedisi atau bersama-sama dari beberapa ekspedisi.
Banyak team yang akan melaluinya, sehingga timbul pemikiran untuk mengutip semacam royalti dari tim-tim yang sherpanya tak ikut memasang tali tetap. Di tahun ini pula telah terbentuk perkumpulan “Pangboche Sherpa Cooperative” yang memperjuangkan sistem pembayaran royalty tali tetap itu, dengan jumlah yang lumayan besar bagi mereka – antara 10 sampai 20 ribu dollar. Sherpa dari team Henry Todd dan Mal Duff mampu mengerjakan tali pengamanan dan tangga dengan cepat, merekalah yang nantinya akan kami gunakan.

Mulai dari sekarang, seluruh rute ke puncak sudah diamankan. Dan seluruh ekspedisi akan menggunakan rutee ini dengan membayar ke perkumpulan “Pangboche Sherpa Cooperative”
Akan datang suatu waktu dimana orang Nepal 100% berkuasa memasarkan gunung ini, seperti orang Amerika dengan McKinley. Tentu saja akan datang protes dari pihak-pihak tertentu yang sekarang hanya mau membayar Sherpa yang dengan sangat murah dan dibawah tarif.

Tim kami sampai di basecamp tgl 19 Maret. Training telah membuat kami tak perlu lagi beraklimatisasi di ketinggian ini. Di depan kami terbentang Breaking Ice (Eisbruch). Psykologis sangat penting dalam pendakian Everest, karena balok-balok Es di Breaking Ice yang seperti raksasa, menjulang tinggi dengan jurang gletser yang menganga pecah berantakan tak beraturan dengan bentuk dan posisi selalu berubah setiap saat karena gerakan dari gletser.
Keberanian kami pun akan di uji, setiap langkah membutuhkan perhitungan, jika tidak mau terprosok masuk jurang es menuju Nirwana. Berjam-jam kami memanjat dan melintasi jurang es yang kedalamannya tak diketahui dengan menggunai tangga yang di ikat-ikat dan disambung-sambung, terus mendaki melalui balok es bergerak setinggi rumah bertingkat.
Tgl 22 Maret kami mendaki dengan seluruh anggota tim ke Camp 1 untuk aklimatisasi. Semua anggota menunjukan kondisi menggembirakan, hanya sedikit terlihat ketidak biasaan, tapi dalam pendakian kedua kalinya mereka telah menunjukkan rutinitas dan kian lincah. Setelah selesai, datang berikutnya, naik lagi, istirahat, beraklimasi.

Setelah 2 hari istirahat di basecamp, pada tgl 26 Maret kami naik lagi ke Camp 1 (6000m) dan bermalam disana, dan pada tgl 27 Maret langsung naik ke Camp 2 (6500m).
Disitu kami bermalam 2 malam dan mendaki sampai ketinggian 6800m. Pada tgl. 29 Maret kami turun lagi ke basecamp untuk istirahat selama 3 hari. Semua anggota team dan staf sehat walafiat.

Aklimatisasi kami yang ke 3, dimulai tgl. 1 April. Kami mendaki langsung dalam waktu 8 jam ke Camp 2, dan bermalam disana selama2 malam.

Tgl. 4 April kami mendaki sampai ke ketinggian 7000m, dan kembali lagi ke Camp 2 dimana kami beristirahat keesokan harinya.

Tgl. 6 April kami menerjang langsung sampai ke Camp 3 (7300m). Sebelumnya Sherpa kami telah memasang tali pengaman menuju ke Camp 3.
Tgl. 7 April kami beristirahat di Camp 3.

Belakangan terasa ada problem dalam struktur organisasi kami. Sherpa tidak berada dibawah komando saya. Tugas mereka hanya menolong di pekerjaan tertentu seperti memasang tali, membangun Camp dan transport logistik. Pekerjaan yang harus dikerjakan sebenarnya banyak, karena kami yang pertama di rute ini, tanpa ada pertolongan dari Sherpa lantaran secara structural mereka harus tinggal di belakang seusai melakukan tugasnya.
Pertolongan Sherpa tidak bisa mengimbangi team pendaki yang selalu bergerak menuju ketempat yang lebih tinggi. Apa (pemimpin Sherpa) juga sedih melihat orang-orangnya yang tidak cukup kapabel karena kurang kemampuan dan pengalaman, yang akan berakibat tersendatnya pendakian ini.

Saya merencanakan untuk beraklimatisasi dengan menginap semalam di sadel selatan (7900m) untuk kemudian terus mendaki sampai ketinggian 8200 m. Rencana selanjutnya ialah membuka HighCamp darurat di ketinggian 8500m untuk berjaga-jaga saat turun nanti, andaikata terjadi perubahan cuaca selain karena gerakan turun yang melambat sehingga badai es kemungkinan besar tak bisa dihindari. Karena Sherpa brontak dan menolak mengerjakan melaksanakan pekerjaan tersebut, rencana saya ini batal.

Sebagai kompromi saya membantu Apa memasang tali tetap dari Camp 3 ke Yellow Band (Gelbend Band, lereng yang berwarna kuning) pada ketinggian 7500m. Tgl 8 April kami mendaki dengan 8 pendaki sampai di lereng kuning, dan turun kembali ke Camp 3. Kami bermalam disini dan 9 April kami turun sampai ke basecamp.

Sekaranglah terlihat perbedaan kondisi dan prestasi dari setiap pendaki, dimana ketinggian dan beratnya medan menyeleksi mereka secara alami.
Pada fase ini, para pendaki sipil nampak kurang termotivasi dan mulai kehilangan konsentrasi. Sebaliknya, dengan segala kekurangan pengalaman mereka, para Kopassus nampak kian termotivasi, khususnya tiga orang di antara mereka yang anntinya akan menjadi para pendaki puncak.
Mereka bergerak dengan enteng dan tahan dengan ketinggian tanpa problem. Ambisi mereka utk sampai ke puncak tidak pernah padam. Diwaktu kami turun, saya melihat prestasi yang mengendor dari para pendaki, kecuali 3 orang Kopassus itu. Mereka turun gunung dari Camp 3 sampai ke basecamp tanpa kesulitan. Ketiga orang ini adalah; Sersan Misirin 31th, Prajurit Asmujiono 25 th, dan Letnan Iwan Setiawan 29th.

Untuk summit attack nanti, saya akan membagi menjadi 3 grup: grup saya, Bashkirov, dan Vinogradski. Setiap grup beranggotakan 1 orang pendaki kopassus dan 1 Sherpa. Sementara sherpa lain yang kuat dan sehat harus mendukung ‘penyerbuan’ ini juga.

Pada tgl. 9 April kami kembali ke basecamp, dimana saya yakin sebelum summit attack, istirahat di daerah yang rendah akan sangat berguna, karena itu saya memutuskan tim untuk beristirahat di perkampungan hutan Deboche (3770m) selama seminggu.
Tidak ada yang lebih baik untuk tubuh dan jiwa manusia selain beristirahat di hutan yang lebat hijau dan kaya akan zat asam. Disini kami bisa menghindar dari hiruk-pikuk basecamp, sebab setelah 3 minggu latihan berat di atas es dan daerah yang menjemukan, maka tubuh dan jiwa tentu menjerit minta diistirahatkan.

Pada perwira penghubung militer kami, Kapten Rochadi saya menekankan tentang logistic yang harus tersedia di Camp 5, yaitu: dua tenda, sepuluh botol zat asam, sleepingbag dan alas tidur. Saya harap selama 7 hari ini Apa dan Sherpanya bisa mentransport itu semua.

Pada tgl 21 April tim kembali ke basecamp, dimana kami melakukan seremoni dan berdoa. Mirip para Sherpa yang saban pagi memberi kurban untuk gunung, orang-orang Indonesia selalu mengingat Tuhan. Saya sangat respek pada kepercayaan mereka.
Wajah-wajah pendaki dan seluruh anggota tim nampak serius khusyuk selama acara seremoni. Di sisa hari ini, para anggota menyiapkan diri utk pendakian. Selama menunggu hari pendakian mereka semua terlihat tegang. Dalam ketenangan saat bermeditasi, timbul kegembiraan dalam diri saya akan datangnya saat pendakian.

bersambung ke pos III