Saya tahu bahwa Camp 5 belum lagi berdiri. Apa meyakinkan saya, Camp itu akan selesai pada hari pendakian ke puncak. Saya juga mohon pertolongan pada sebuah tim Rusia yang kebetulan ada di Camp 3, andai sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada tim kami. Selain itu di Camp 2 juga ada Sherpa dari tim lainnya yang akan menolong kami. Bashkirov, Vinogradski, Apa dan saya memperlengkapi diri dengan alat komunikasi saat pendakian puncak. Satu atau dua dari kami akan selalu menemani para pendaki Indonesia. Di Sadel Selatan dua Sherpa siaga dengan alat komunikasi. Kami juga terhubung dengan tim Rusia di Camp 3, dengan anggota tim kami di Camp 2 di basecamp.

Kabar cuaca dari Kathmandu menggembirakan. Gangguan cuaca baru saja berlalu, dan 5 hari ke depan tampaknya akan aman-aman saja. Tapi di gunung, kata ‘Aman’ adalah relatif. Terlebih pada ketinggian di atas 8000m. Dengan cuaca bagus pun, jangan disangka tidak ada tantangan.

Pada tgl 22 April tengah malam 3 orang Rusia dan 6 orang Indonesia meninggalkan basecamp, berjalan di bawah cahaya bulan untuk melakukan pendakian ke puncak Everest. Kami mendaki cepat sampai di Camp 2. Tim pendaki Indonesia juga cepat. Hanya butuh waktu 6 jam sampai di Camp 2 bagi kami tanpa problem.

Tgl 23 April kami beristirahat di Camp 2.

Tgl 24 April sebagian dari pendaki dan Sherpa tinggal di Camp 2. Bashkirov, Vinogradski dan saya bersama Misirin, Asmujiono dan Iwan mendaki ke Camp 3. Tim kami kelihatan dapat tegar dan stabil, kami juga kadang-kadang bercanda.

Pada tgl 24 April ini, angin kencang di Sadel Selatan, tapi dari Kathmandu melalui Kapten Rochadi diperoleh kabar bahwa angin kencang itu tak terlalu serius. Diperkirakan dalam 2 hari angin kencang itu akan reda.

Saya menetapkan semua anggota tim pendaki tetap di Camp 3, dan Sherpa semua turun ke Camp 2 utk mencari Apa yang telah berjanji untuk membereskan Camp Darurat, walau sampai sekarang belum beres juga.

Pada tgl 24 April ini kami beristirahat, dan tgl 25 April tim kami mencapai Sadel Selatan antara jam 15.00 dan jam 17.00. Pendaki Indonesia telah melalui rute ini tanpa ekstra tabung zat asam dan tanpa problem. Keadaan mereka sangat bagus, kerja sama mereka berfungsi, dan bermotivasi tinggi.

Rute terakhir menuju puncak, setiap pendaki Indonesia harus membawa 2 tabung zat asam, dengan takaran penggunaan tiap dua menit. Sherpa yang juga menggunakan tabung zat asam, harus membawa extra 3 tabung zat asam untuk setiap orang team pendaki.

Karena kami ekspedisi pertama tahun ini, kami sadar akan membutuhkan banyak tenaga untuk melewati rute ini. Lama tak dilewati orang, salju sampai setinggi paha, dan di ketinggian 8100 sampai 8600m salju masih saja setinggi dengkul. Dan juga Kami pun harus memasang tali pengaman sendiri.

Untuk pendakian kali ini saya menggunakan tabung zat asam, sebab setelah mengalami kecelakaan bis, saya tidak mengetahui daya tahan badan saya. Jadi utk menjaga keselamatan saya dan keselamatan orang yang saya jaga, saya harus menggunakan tabung zat asam.

Banyak perubahan kondisi di rute yang akan kami lalui, ketika kami sampai di Sadel Selatan.

Seluruh rute yang akan kami lalui, masih penuh dengan salju yang tingginya setengah meter sampai satu meter, sementara Sherpa yang masih fit hanya 8 orang. Camp Darurat masih harus dibangun. Saya tidak bisa memaksa Sherpa yang dengan beban berat di punggung, untuk cepat mendaki ke atas dan membangun Camp Darurat itu. Kalau saya tetap menuntut mereka melakukan itu, dengan iklim diatas seperti ini, berarti saya adalah orang yang sangat brutal.

Jadi kami punya 8 Sherpa, sekarang hanya Apa dan Dawa yang akan ikut naik sampai ke puncak, bersamaan itu Sherpa yang lainnya nanti harus membawa Logistik ke Camp Darurat (8500m). Apa kembali berjanji dengan saya, “Semua beres, jangan kewatir”.

Bashkirov, Vinogradski dan saya mengetahui bahwa tabung zat asam hanya tersedia dalam jumlah pas-pas an, yang berarti nanti dalam keadaan darurat, kami harus mendaki atau turun tanpa tabung zat asam.

Satu tabung zat asam cukup utk 6 jam dengan setelan 2 L /menit, meski kondisi penyetelan tersebut sangat jarang. Jika disetel 1L /menit, maka persediaan akan menjadi dua kali lipat. Peralatan yang akan diangkut keatas juga banyak, di depan kami menunggu kerja yang sangat berat.

Tgl. 26 April ditengah malam kami meninggalkan Sadel Selatan dan mulai mendaki. Saya menggunakan tabung zat asam 1 L /menit, saya selalu berjalan paling depan, pelan dan sulit.

Vinogradski dan Bashkirov menghemat tenaga mereka dan mengikuti di belakang bersama-sama dengan Kopassus. Diketinggian 8300m kami berusaha bergerak dengan kecepatan seperti pendakian tahun lalu. Saya di depan dan Apa dibelakang saya. Tapi kali ini tin berjalan sedikit lambat.

Saya mendaki terus melalui ketinggian 8600m. Setelah 9 jam melalui salju setinggi paha, saya mencapai dengan susah payah Puncak Selatan. Dibawah saya, Apa mengamankan jalan yang terjal di ketinggian antara 8600m sampai 8700m sampai hampir mencapai Puncak Selatan.

Jam 11.00 seluruh tim mencapai Puncak Selatan.

Kami mengadakan Evaluasi, dan Apa menganjurkan, saya terus mendaki sampai puncak dan melihat keadaan. Okay, kata saya dan ketika saya menanyakan tali, dia menjawab, bahwa kita tidak mempunyai tali lagi. Saya kecewa dengannya. Bagaimana mungkin di ketinggian ini saya harus mencari tali bekas yang terkubur dibawah salju, untuk kemudian disambung-sambung lagi sebagai tali pengaman utk tim ini. Di sini salju sangat tebal membuat bahaya bisa yang tak terlihat bisa muncul di mana saja.

Apa mengaku, dia menggunakan tali terakhir yang panjangnya 100m, utk mengamankan rute yang sebenarnya tidak perlu di amankan. Saya sulit mengerti dengan tindakannya.

Merasa bersalah, ia pun menawarkan diri untuk turun dan mengambil tali. Yang jadi masalah sekarang adalah waktu. Waktu berjalan terus, kami harus terus mendaki atau turun.

Apa merasa bersalah. Karena kelalaiannya, ekspedisi terancam gagal. Ia pun berusaha keras memperbaikinya. Ia pergi ke depan dan mengamankan rute kami dengan sisa tali terakhir panjangnya tak lebih dari 40m. Tali tua, bekas tali ekspedisi-ekspedisi terdahulu.

Selama itu kami istirahat, saya merasakan tenaga saya datang kembali.

Ketika Dawa memotong jalan kami, kami mendapat berita, bahwa di ketinggian 8500m sudah berdiri satu Kemah dan persediaan tabung zat asam utk ekspedsii kami. Apa telah memasang tali pengaman secara bertahap sampai di ujung atas Hillary Step. Yeah! Tim dalam keadaan fit. Jam menunjukkan angka 12:30 ketika Apa melewati Hillary Step. Cuaca bersahabat. Camp Darurat beres. Bashkirov, Vinogradski dan saya memutuskan walaupun kami sangat terlambat, paling lama sekitar jam 15:00 kami akan sampai di sasaran.

Misirin berjalan maju, perlahan tanpa pertolongan. Asmujiono bergerak mantap, tapi seperti orang yang sedang bermeditasi. Iwan berjalan pelan pula, namun bisa dilihat kemampuan koordinasinya berkurang meski mentalnya masih kuat.

Misirin menunjukkan dari semuanya ialah yang paling mantap, karena itu kami memberikan dia kesempatan sbg orang yang pertama mencapai puncak. Tekad dari orang tiga ini tidak terpecahkan, kesempatan mencapai puncak, tidak mau mereka sia-siakan.

Terpikir diotak saya, biar satu orang saja yang muncak, biarkan yang lainnya turun. Ah…! nanti saja saya pikirkan, kalau kami sudah melalui Hillary Step. Tiba-tiba saya bisa merasakan Asmujiono konsentrasinya semakin berkurang, dan saya instruksikan Dr. Vinogradski untuk mengamati Asmujiono. Bashkirov dan Misirin berjalan paling depan, setelah itu Iwan dan saya, Asmujiono dan Dr. Vinogradski terakhir di belakang.

Punggungan gunung hari ini tampaknya lain dari biasanya, lebih terjal dan saljunya tebal sekali. Iwan bisa maju dengan perlahan, namun pada satu tempat badannya oleng. Untunglah disaat yang kritis itu ia berhasil diselamatkan dengan tali pengaman. Ketika saya sedang memperlihatkan padanya bagaimana cara menggunakan linggis es (Ice Pickels) di punggung gunung secara benar, disini jelas terlihat bahwa saya sedang berhadapan dengan orang yang baru 4 bulan lalu untuk pertama kali dalam hidupnya melihat salju. Sebenarnya melalui rute punggung gunung ini, dengan hanya menggunakan tali pengaman sudah cukup. Hal ini sudah saya perhitungkan sebelumnya, jadi tidak perlu menggunakan Linggis Es. Tapi sekarang saya terpaksa harus mengajarkan menggunakan itu ke anak muda yang sabar dan bertekad bulat ini. Saya bertanya kembali kepada diri saya sendiri “Apa artinya semua ini, bagi orang Indonesia?”. Bahkan sebagai seorang atlet, saya tidak akan mempertaruhkan nyawa hanya sekedar untuk sampai ke puncak. Tapi serdadu ini punya prinsip luar biasa. Mereka rela mempertaruhkan nyawa mereka untuk keberhasilan ekspedisi ini.

Setelah Iwan berjuang melalui punggungan gunung, dimana pada fase ini saya harus terus mengamati, kami mendaki terus perlahan dan saya sampai di kaki Hillary Step. Disini saya bertemu sesosok jenazah (Jenazah Bruce Harrods, yang hilang pada th.1996, anggota Johannesburg Sunday Times Expedition Afrika Selatan). Dia tergeletak di sana dengan tubuh terlilit tali, Besi cengkram sepatu esnya pada keadaan hendak naik, dan wajahnya sudah tidak dikenal lagi. Cuaca disini memang berat, saya mengenali dia hanya dari jaket biru bulu angsa yang dipakainya. Saya dan semua di tim kami sangat menyesal tidak bisa berbuat banyak dengan jenazah ini, karena keadaan yang tidak memungkinkan, selain menaruh hormat yang sangat besar pada jenazah mendiang. Disamping tugas pokok saya sebenarnya adalah menjaga lampu kehidupan orang Indonesia yang sudah mulai berkerlap-kerlip ini, situasi yang kami hadapi juga tak kalah berbahayanya.

Saya sampai di ujung Hillary Step, selagi Iwan dan Asmujiono yang berjalan dibelakang saya melewati punggung gunung. Disitu saya berdiskusi dengan Bashkirov, dimana kami harus memutuskan apakah hanya Misirin sendiri yang terus mendaki sampai di puncak, dan yang lainnya turun. Apa dan Dawa sudah terus mendaki didepan menuju puncak. Asmujiono sedang berusaha melewati Hillary Step, Vinogradski nampak di belakang. Dia berusaha meyakinkan Iwan untuk turun, tapi dia tidak mau. Bisa dilihat bagaimana Iwan berjuang pantang mundur, terus mendaki keatas melalui Hillary Step. Tidak satupun dari orang Indonesia ini bersedia untuk menyerah.

Saya merasa kuatir dengan persediaan tenaga mereka, karena mereka juga akan membutuhkannya untuk turun nanti. Walaupun puncak tinggal kurang lebih 100m, demi keselamatan, saya berkata pada Iwan dan Asmujiono dan menasehatkan mereka untuk berbalik, dan turun. Sekali lagi mereka menolak mentah-mentah!

Sebab itu kami semua terus naik menuju puncak. Saya menyusul ke depan sampai 30m dari puncak, di sana saya menemui Apa dan Darwa dan membicarakan soal keadaan Iwan dan Asmujiono yang sudah berjalan seperti robot, tapi tetap dalam keadaan konsentrasi penuh kearah puncak. Saya ingin mereka turun, selagi mereka masih kuat dan sanggup. Mungkin sekali kami nanti menggunakan Camp di ketinggian 8500m. Saya ingin secepat mungkin turun dari puncak, karena sekarang sudah pukul 15:00 jadi sudah sangat kemalaman. Cuaca masih stabil, tapi sudah mulai kelihatan awan putih halus mengambang di sisi selatan. Karena saya lihat pendaki Indonesia beristirahat semenit untuk setiap langkah yang mereka ayun, saya pun jadi berpikir, pasti mereka masih memerlukan waktu setengah jam sampai puncak.

Ketika saya sampai di puncak yang disusul Misirin dan Bashkirov dengan jarak 30 m dibelakang saya, saya melihat Misirin jatuh diatas salju. Tiba-tiba muncul Asmujiono dan melewati Misirin yang masih tergeletak diatas salju. Dengan pandangan matanya yang selalu tertancap ke puncak Everest, dia berlari kecil seperti dibawah sadar dan gaya “Slow Motion” menuju tiang berkaki tiga yang penuh dengan bendera yang tanda sebagai puncak Everest, dan dia langsung memeluknya. Dia menyingkirkan semua apa yang ada kepalanya, dan langsung memakai Baret Merah keatas kepalanya, dia terus mengambil bendera dan mengibarkan Sang Saka Merah Putih di puncak Everest. Rasa takjub luar biasa mendera saya, Kejadian seperti yang barusan saya lihat ini sungguh tidak pernah saya alami.

Karena tekad, usaha laki-laki ini membuahkan kebanggaan untuk Bangsanya.

Cukup sekarang! Sekarang juga semua turun! Saya cek kondisi saya. I feel good dan masih ada tenaga simpanan. Juga Bashkirov dan Vinogradski masih kuat dan otak mereka masih berfungsi normal. Kami masih bisa berpikir untuk mengontrol ini semua, sedang orang Indonesia lebih banyak bergerak secara otomatis sesuai dengan yang akhir-akhir ini sering mereka lakukan. Sebuah situasi yang dalam hal-hal tertentu bisa membahayakan mereka.

Saya mengambil foto Asmujiono di Puncak Everest. Sekarang sudah jam 15:30 sudah sangat terlambat. Bashkirov sampai di puncak. Apa yang kembali lagi ke puncak, langsung saya perintahkan untuk membangun tenda di Camp 5. Kami tinggal di puncak tidak lebih dari 10 menit. Vinogradski hanya beberapa meter dari tripod penanda puncak, ketika saya memerintahkan semuanya untuk turun. Vinogradski balik dan pergi mencari Iwan, yang berada 80m dari puncak. Dan saya pergi ke Misirin yang berada 30m dari puncak, tergeletak diatas salju, dan saya berjongkok disamping dia, dan berkata padanya bahwa kita telah sampai di puncak. Saya keheranan, ketika tiba-tiba dia berdiri dan berjalan untuk turun. Seratus meter dibawah puncak diwaktu turun, kami bertemu dengan Vinogradski dan Iwan. Memang berat hati saya memerintahkan laki-laki ini yang tinggal beberapa meter dari puncak untuk segera turun, tapi saya tetap keras demi keselamatan diri mereka sendiri, karena setiap menit sangat berharga. Kalau kami tidak berhasil turun di bawah sinar matahari, rencana yang telah disusun akan berantakan.

Kami sampai di Puncak Selatan pada jam 17:00, setelah bersusah payah memanfaatkan tali-tali bekas dan tua menyelusuri jalan turun, yang telah di pasang Apa yang dengan cara diputus-putus untuk melewati punggungan gunung. Saya turun yang paling akhir, Dawa sudah menunggu di Puncak Selatan. Ketika turun dari Puncak Selatan, Misirin terjatuh berkali-kali tapi dia berdiri kembali dan terus turun. Iwan, yang memakai tabung zat asam dari Vinogradski, tiba-tiba terlepas dari tali penyelamatnya dan merosot ke bawah. Kalau Vinogradski tidak buru-buru memegang dia dan mengikatkannya kembali di tali pengaman, jurang menganga dengan kedalaman ratusan meter akan menelannya. Asmujiono yang bergerak lincah turun bersama para Sherpa. Saya memimpin grup ini dan berjalan di depan dengan menyalakan lampu

kepala yang saya arahkan ke rute kami.

Jam 19:30 semua Kopassus dan saya sampai di Camp 5. Bashkirov dan Vinogradski sampai satu jam lebih lambat. Sekarang hanya Kopassus yang memakai tabung zat asam. Saya melepaskan besi cengkram sepatu mereka agar mereka bisa masuk dan tidak merusak kemah. Tenda yang lebih mirip seperti bivak karena tiangnya kami pendekkan. Di sini kami mempunyai peralatan masak dan dua tabung zat asam berisi penuh. Camp darurat seperti ini tentu tidak begitu nyaman, tapi cukup utk melindungi kami berenam dari tempratur yang sangat dingin di luar. Untungnya sekarang angin sedang tak berhembus. Dimalam ini Everest kelihatannya sangat bersahabat pada kami. Saya mengizinkan Apa dan Dawa pergi turun. Besok saya akan berkomunikasi ke bawah.

Sekarang mulai apa yang disebut secara Diplomatis oleh Bashkirov sebagai ” Drama di Malam Hari”,

Vinogradski sepanjang malam selalu memasak air, dan selama itu juga saya dan Bashkirov bergantian menggilir zat asam untuk orang indonesia yang sudah kelelahan ini. Sepanjang malam kami bergantian menggilir zat asam utk mereka, karena kami harus berhemat supaya cukup untuk malam ini. Kalau seorang dari mereka agak kelamaan menunggu pembagiannya, maka mulailah dia menjerit-jerit dan berdoa. Kami bertiga bekerja sekuat tenaga hampir tanpa berkata sepatah kata pun malam itu.

Mentari Pagi datang, tanpa angin, dengan awan yang berwarna-warni indah sekali. Ketika kami keluar dari kemah, tampaklah panorama dari Lhotse, Makalu dan Kanchenjunga dari arah timur dan selatan, sedangkan puncak Everest sedang mencair oleh silaunya matahari pagi. Sekarang yang harus kami lakukan hanya turun. Suatu pendakian ke puncak sebuah gunung dikatakan benar-benar berhasil jika semua selamat sampai ke basecamp.

Kami memasak air untuk terakhir kali, dan semua mendapat bagian minum air panas. Mental dari Kopassus telah pulih kembali, mereka selamat dari bahaya beku. Zat asam telah habis, tapi lantaran aklimatisasi yang sukses dan semalam mereka tidur memakai tabung zat asam, sekarang nampaklah hasil positifnya. Ketiga serdadu itu bergerak pelan, tapi biarlah, pokoknya mereka bergerak. Saya berharap Apa dan Sherpa lainnya yang berada di Sadel Selatan akan menyongsong dan menyambut kami. Pagi ini dunia menunjukkan sinarnya yang indah sekali ketika kami mulai turun.

Keaadan sekarang semua stabil, saya ingin sekali menyelesaikan urusan pribadi yang masih tetap saja, menggantungi hati saya. Di ketinggian 8400m saya melihat-lihat, kalau-kalau saya bertemu jenazah Scott Fischer, walau kemarin saya sudah mencoba mencarinya dengan sia-sia. Sekarang saya melihat dia. Saya tidak menemuinya kemarin, mungkin karena hari sudah gelap, padahal dia tergeletak kira-kira hanya 30m dari posisi kami. Saya harap “Misi” saya utk Jeanie (Istri Scott) terpenuhi. Bendera yang penuh tulisan dari istri Scot dan teman-temannya, saya letakkan disana. Walaupun sebenarnya saya ingin membalutnya dengan bendera itu, tapi karena waktu yang mendesak dan juga tanggung jawab saya pada ekspedisi ini, maka saya hanya melakukan janji saya yang terpenting dan sangat menyedihkan ini saja. Dengan dibantu oleh Vinogradski, saya menguburkan Scott, yang hampir seluruh tubuhnya sudah tertutup salju. Kami menimbun Scot dengan salju dan batu-batu, dan diatasnya saya tandai dengan gagang linggis yang kami temui disekitar tempat itu. Vinogradski dan saya sampai di Sadel Selatan tengah hari.

Misirin, Iwan dan Asmujiono duduk di balkon (batu besar datar) sedang menghirup tabung zat asamnya. Disini di Sadel Selatan mereka bisa bernafas lega. Mereka telah berhasil. Kami minum teh, dan bersap untuk tidur.

Esok paginya, saya melewati Sadel menuju ke ujung tidak jauh dari tepi Kangshung, dimana tahun lalu terjadi Tragedi di malam yang kejam. Di sanalah saya meninggalkan Yasuko Namba. Hari ini saya menemukan tubuhnya, sebagian tertutup salju dan es. Ranselnya sudah tidak ada, isinya berserakan di sekitarmya. Saya mengambil beberapa barangnya, yang nanti akan saya serahkan pada keluarganya. Setelah itu saya mengubur tubuh mungilnya dengan batu-batuan, dan saya tandai dengan dua kapak es yang saya temui di sana. Dengan kesedihan mendalam karena kehilangan teman, hanya itulah yang bisa saya lakukan untuk keluarga Yasuko dan Scot. Sempat terlintas dalam benak saya, bagaimana Iwan, Misirin dan Asmujiono yang menatap maut didepan mata mereka dengan gagah berani. Juga terpikir oleh saya, kesedihan dan rasa sakit keluarga-keluarga yang kehilangan orang-orang yang mereka cintai di sini.Tapi saya tahu, keberhasilan mencapai puncak Everest akan terus menjadi pemikat bahkan bagi mereka yang tak punya pengalaman mendaki gunung ini.

Misirin, Iwan, Asmujiono, Apa, Dawa, Bashkirov, Vinogradski dan saya turun gunung dan bergembira dengan keberhasilan kami. Banyak hal yang kecil terjadi menghiasi keberhasilan kami. Nasib baik jelas berpihak pada kami. Ekspedisi Indonesia telah selesai, tanpa meninggalkan kesedihan di hati saya.

Asmujiono

Asmujiono