Pendaki pertama dari Indonesia yang menginjak puncak Everest pada ketinggian 8.848 meter adalah seorang Clara Sumarwati. Ternyata prestasinya itu juga menjadikan dirinya orang Asia Tenggara yang pertama sampai di puncak Everest, yaitu pada tanggal 26 September 1996. Namanya dan tanggal pencapaiannya tercatat antara lain di buku-buku Everest karya Walt Unsworth (1999), Everest: Expedition to the Ultimate karya Reinhold Messner (1999) dan website EverestHistory.com, sebuah referensi andal akan segala sesuatu yang berkaitan dengan pendakian gunung di dunia.

Kesangsian akan peristiwa bersejarah yang dicatatnya itu datang dari berbagai pihak di tanah air, semata-mata karena dianggap tidak memberi cukup bukti, contohnya seperti foto yang menunjukkan ia memegang bendera yang tertancap di puncak. Namun di berbagai sumber pencatatan dunia, Clara diakui sebagai penakluk puncak Everest ke-836. Masyarakat pendaki gunung internasional pun sudah maklum bahwa Clara adalah orang Indonesia dan juga orang Asia Tenggara pertama yang sampai ke puncak Everest.

Lahir tanggal 6 Juli 1967 di Yogyakarta, anak ke-6 dari delapan putera-puteri pasangan Marcus Mariun dan Ana Suwarti. cita-cita Clara sewaktu kecil adalah menjadi ahli hukum, tetapi ia tidak bisa menolak ketika kakak laki-lakinya menyekolahkannya di Universitas Atmajaya jurusan Psikologi Pendidikan. Saat kuliah ia ingin menjadi pembimbing dan juru konseling di SMU. Tetapi begitu lulus universitas di tahun 1990, haluannya samasekali berubah ketika ia gabung dengan ekspedisi pendakian gunung ke puncak Annapurna IV (7.535 meter) di Nepal. Rekannya, Aryati, berhasil mencatatkan diri sebagai perempuan Asia pertama yang mencapai puncak itu pada tahun 1991. Pada Januari 1993, Clara bersama tiga pendaki puteri Indonesia lainnya menaklukkan puncak Aconcagua (6.959 meter) di pegunungan Andes, Amerika Selatan.

Sebenarnya pendakian Everest tahun 1996 itu bukan ekspedisi Everest yang pertama bagi Clara. Pada tahun 2004, ia bersama lima orang dari tim PPGAD (Perkumpulan Pendaki Gunung Angkatan Darat) berangkat tetapi hanya mampu mencapai ketinggian 7.000 meter karena terhadang kondisi medan yang teramat sulit dan berbahaya di jalur sebelah selatan Pegunungan Himalaya (lazim disebut South Col). Kegagalan mencapai puncak ini justru membuat Clara Sumarwati semakin penasaran dan bercita-cita untuk mengibarkan Merah-Putih di puncak Everest pada 17 Agustus 1995, tepat 50 tahun Indonesia merdeka. Sebanyak 12 perusahaan ia hubungi waktu itu untuk mendapatkan sponsor. Biaya yang ia butuhkan tidak sedikit, mencapai Rp 500 juta, karena memang segitulah biaya yang harus dikeluarkan siapa pun yang ingin menaklukkan Everest waktu itu. Tidak ada jawaban. Menurut Clara, bahkan ada pihak perusahaan yang meragukan kemampuannya sehingga enggan memberi sponsor.

Salah satu pihak yang ia hubungi untuk sponsor adalah Panitia Ulang Tahun Emas Kemerdekaan Republik Indonesia, yang dibawahi Sekretariat Negara. Clara dipanggil menghadap pada bulan Agustus 1995 dan mendapat konfirmasi bahwa Pemerintah bersedia mensponsori ekspedisinya. Sertamerta Clara menjadwal-ulang ekspedisi yang seharusnya memancang bendera Indonesia di tahun 1995. Ia mencanangkan ekspedisi berangkat di tahun berikutnya, pada bulan Juli 1996. Ternyata pengunduran jadwal itu mempunyai makna tersendiri karena pada tahun 1995 itu terjadi badai dahsyat di Himalaya yang menewaskan 208 pendaki dari berbagai negara.

Berikut ini adalah suatu penuturan langsung Clara Sumarwati kepada majalah Gatra di tahun 1996 tentang pengalamannya mulai dari persiapan hingga mencapai puncak Everest.

“Secara fisik sebenarnya kami sudah siap,” kata Clara. Kesiapan fisik memang dilatihnya sejak ide pendakian itu muncul di benaknya, pada tahun 2004. Mulai pukul 07.00, ia berlatih lari mengelilingi Stadion Senayan, Jakarta, selama dua jam, di bawah pengawasan Gibang Basuki, anggota Komando Pasukan Khusus berpangkat sersan dua. Kemudian sore hari, ia melatih otot di Pusat Kebugaran Hotel Grand Hyatt, Jalan Thamrin, Jakarta. Sedangkan siang, ia berkeliling keluar-masuk kantor untuk mendapatkan sponsor.

Agar tubuhnya tahan menghadapi hawa dingin dan salju, Clara berendam di kolam renang Senayan, Jakarta. “Karena terlalu sering, sampai-sampai penjaga kolam renang menganjurkan agar kami membeli karcis langganan,” kata Gibang Basuki. Selain itu, sebulan sekali Clara melakukan latihan naik-turun gunung sambil membawa beban. Mulai dari Gunung Gede, Jawa Barat, sampai ke puncak Soekarno di Pegunungan Jayawijaya, Irian Jaya.

Di samping berendam selama dua jam di sebuah kali kecil di Suryakencana, Jawa Barat (ini juga untuk melatih fisik agar tahan terhadap udara dingin), Clara melakukan latihan mendaki dengan kemiringan 900. Di Citatah, Jawa Barat, misalnya, dengan tali, ia naik-turun Gedung Pemadam Kebakaran yang tingginya sekitar 30 meter. Latihan yang biasa disebut rapling atau turun monyet itu juga dilakukan di celah-celah Tebing Singgalang, Padalarang. “Latihan ini yang paling menyeramkan,” kata Clara, yang juga berlatih memanjat tebing dengan jari-jemarinya.

Kenyang menjalani semua latihan berat tadi, barulah Clara bersama Gibang Basuki mengurus izin mendaki. Mengingat misi pendakian solo (tunggal) ini lewat jalur utara, maka surat izinnya dikeluarkan oleh Pemerintah Cina, di Beijing. Dan berkat bantuan seorang warga Australia, mereka berhasil mendapatkan izin dari China Mountain Association (CMA).

Langkah Sudah Dilangkahkan

Lalu dengan biaya sebesar US$ 12.000, mereka mengontrak 12 penduduk Tibet, yang akan membawa beban dan tukang masak. Mereka biasa disebut sherpa, berasal dari nama suku Sherpa di Tibet, yang sering naik- turun gunung. Di samping itu, Clara dan Gibang harus menyewa pula seorang petugas Cina dari China Tibet Mountaineering Association (CTMA), yang berperan sebagai penerjemah sekaligus, “Untuk mempermudah prosedur di perbatasan Cina-Tibet,” kata Clara.

Setelah urusan perizinan beres, mereka kembali ke Jakarta melakukan latihan terakhir. Pas 8 Juli 1996, Clara dan Gibang Basuki memulai perjalanan bersejarah itu. Mereka menumpang Kuwait Airlines menuju Frankfurt, Jerman, untuk membeli perlengkapan mendaki. “Masuk di toko perlengkapan pendaki seperti masuk surga,” tutur Clara, yang menghabiskan dana sampai US$ 50.000. Termasuk di antaranya 12 tabung oksigen dan sepatu. Sepuluh hari kemudian mereka menuju Kathmandu.

Selanjutnya Ke Tibet

Di ibukota Nepal, Kathmandu, selain menjemput ke-12 pemanggul beban serta pemandu jalan, Clara dan Gibang melakukan latihan aklimatisasi. Yakni latihan menyesuaikan diri di tempat ketinggian. Mula-mula mereka diterbangkan pada ketinggian 3.000 meter dengan helikopter. Setelah itu, pelan-pelan mendaki sampai puncak Gunung Kalapatar, yang tingginya 5.545 meter. Kemudian turun kembali ke Kathmandu.
Perjalanan darat menuju perbatasan tidaklah mudah. Terjadi longsor di jalan-jalan raya, sehingga rombongan Clara harus kembali ke Kathmandu dan istirahat seminggu. Sampai-sampai lima kali mereka harus mengganti kendaraan pengangkut. Baik di Kota Zhangmo maupun Nylam Tim, Nepal, mereka menginap di hotel milik Pemerintah Cina. Kondisi kamarnya kurang memadai. Listrik sering mati, dan airnya yang keruh cuma sesekali mengalir. “Kami makan malam di restoran Cina yang makanannya berminyak,” tutur Gibang Basuki.

Sementara menunggu waktu, mereka mengisi kegiatan dengan mengikuti ziarah ke kuil, adat penduduk Nepal dan Tibet yang diikuti pula para pendaki umumnya. “Di kuil itu banyak tanah liat dibakar, seperti di kasongan Yogya,” kata Clara. Setelah itu mereka pun mengawali petualangan, dan tiba di tempat yang biasa disebut Base Camp. Di tempat setinggi 5.154 meter yang dilengkapi dengan pos dan alat komunikasi ini, Clara melakukan latihan naik turun gunung selama empat hari sambil menunggu kedatangan petugas penerjemah Cina.

Dan sekitar pukul 09.00 waktu setempat, 26 Agustus 1996, Clara memulai langkah yang bersejarah dalam hidupnya. Diiringi 12 pembawa beban, Clara menuju tempat pemberhentian berikutnya. Lokasi ini lazim disebut Camp 1, ditentukan sesuai dengan kemampuan para pendaki mengayun langkah. Untuk Clara, Camp 1 mencapai setinggi 5.500 meter. Di sini rombongan Clara disambut hujan lebat, sehingga mereka harus beristirahat dalam tenda. Paginya, menuju ke Camp 2 pada ketinggian 6.000 meter.

Uang Jasa Merintis Jalan

Setelah mereka beristirahat secukupnya, perjalanan dilanjutkan ke Camp 3, Advanced Camp. Di Camp 3 ini Clara harus melakukan latihan naik-turun gunung (aklimitasi) selama tiga pekan. Sebab di ketinggian 6.450 meter itu lapisan oksigen mulai berkurang sehingga banyak pendaki yang menderita hipoksia alias pusing karena kekurangan oksigen. Apalagi ia terserang batuk dan sakit tenggorokan karena tak tahan dengan suhu sedingin minus 350C, akibat badai salju. “Sampai-sampai susah bernapas,” tuturnya.

Clara sembuh setelah diberi minum strepsil dan sebutir tablet antibiotik oleh seorang dokter Yogoslavia dari sebuah rombongan Amerika Serikat yang tiba belakangan. Tim pendaki Amerika Serikat dimintai Gibang Basuki tanda jasa.”Berupa barang apa saja bolehlah,” kata Basuki. Sebab tim Amerika itu menggunakan rute – mulai Base Camp sampai Camp 3 – yang dibuat oleh para sherpa dari tim Indonesia.

Bukan karena komersial, melainkan sebagai balas jasa bagi para sherpa yang merintis jalur tersebut. Memang para sherpa inilah yang merintis jalan menuju kamp berikutnya, baru kemudian si pendaki mengikuti dari belakang. Salah seorang di antaranya bernama Ghalzhen yang terkenal lihai. Ia, bersama tiga rekannya, hampir tewas ditimpa longsoran salju (avalanche).

Tim Ceko yang beranggotakan 12 orang itu akhirnya memberi tali, tenda, bahan makanan, serta meminjamkan alat telekomunikasi berupa telepon satelit. Oleh Gibang Basuki, pemberian itu diserahkan kepada Ghalzhen dan 11 anggota pembawa barang lainnya. Sedangkan enam orang tim Afrika, yang juga menggunakan rute Indonesia, menyumbangkan tali dan uang kontan US$ 200. Lalu ada pula sebuah tim lain yang menolak dimintai sumbangan. Belakangan baru diketahui, ternyata mereka cuma mengantongi izin pendakian untuk seminggu. Artinya, ya mereka tidak bakal sampai ke pucuk Everest.

Didampingi empat sherpa (delapan lainnya sudah berangkat lebih dulu), tim Indonesia melanjutkan perjalanan ke Camp 4 yang tingginya 7.069 meter, untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke Camp 5, setinggi 7.900 meter. Saat hendak melanjutkan perjalanan ke Camp 6, Gibang Basuki kembali ke Camp 5. Hal ini memang lazim dilakukan sebuah tim pendakian solo (tunggal). Sebab, sebagai pendukung tim, Gibang harus berada di belakang. Bila kondisi memungkinkan, misalnya, persediaan oksigen dan cuaca cukup baik, barulah Gibang menyusul ke kamp berikutnya.

Di Camp 6 ini kemiringan mencapai 80 derajat, sehingga perlu istirahat sejenak meneguk air minum tiap berjalan setengah jam. Gunanya, untuk menghindari batuk dan radang tenggorokan. Di samping itu, di jalur ini banyak terdapat jebakan salju. “Saya sempat terperosok ke jurang,” tutur Clara. Dalam perjalanan dari Camp 5 menuju kamp berikut, kondisinya kurang mendukung. Empasan angin yang sangat kencang dan berkabut memaksa misi pendakian dihentikan beberapa kali. “Air sisa pernapasan di masker saya sampai membeku menjadi es,” Clara bercerita kepada Abdul Latief Siregar dari Gatra.

Salju Sebatas Paha

Alhamdulillah, Clara bersama lima sherpa berhasil mencapai Camp 6 pada pukul 16.00. Di lokasi yang tingginya 8.300 meter inilah Clara dan rombongan beristirahat. Tatkala istirahat itu, Clara yang masih dalam kondisi fit ditawari Kaji, pemimpin sherpa, untuk melanjutkan perjalanan. Menurut ramalan Kaji, cuaca di sekitar kamp cukup bagus. Ditawari begitu, Clara pun tergoda. Setelah dipikir masak- masak, maka diambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan pada pukul 01.00 dini hari, menuju pucuk Dewi Bumi. Waktu itu Clara sempat mengingatkan Kaji agar Gibang Basuki diberitahu rencana mendadak itu. Sekaligus mengajak Gibang agar ikut dalam ekspedisi yang bersejarah itu. Namun, Kaji melarang dengan alasan persediaan oksigen mereka tak akan cukup. Belakangan Gibang mengetahui alasan Kaji itu cuma dibuat-buat. Apa boleh buat, Gibang Basuki yang sebetulnya juga mampu meraih puncak Everest cuma berada di Camp 5.

Jam menunjukkan pukul 01.00, Clara bangun dari tidurnya. Lalu menyantap nasi kering yang tersimpan di rantangnya, dan menenggak segelas teh manis hangat. Setelah itu barulah Clara berangkat menembus kegelapan malam disertai lima sherpa. Ia menuju puncak. Cuaca cukup bersahabat. Tidak berkabut, meski dingin sangat mencucuk. Untuk menghindari frostbite (pembekuan jari-jari tangan dan kaki), Clara mengenakan pakaian rangkap. Mulai dari long zone (sejenis pakaian senam), kaus bertangan pendek dan bertangan panjang, sampai baju hangat, yang kemudian ditutup lagi dengan down jacket yang direkomendasikan untuk suhu minus 40 derajat.

Selain itu Clara Sumarwati juga mengenakan sarung tangan berlapis-lapis. Mulai dari yang tipis, lalu kaus tangan yang direkomendasikan untuk dipakai dalam suhu minus 300C, sampai sarung tangan tebal. Demikian juga kaus kakinya sampai dua rangkap. Bisa dibayangkan betapa berat beban pakaian yang dikenakan para pendaki pada tahun 1920. Tapi kini hal itu bisa dihindari, “Karena bahannya bagus, terasa ringan,” kata Clara.

Perjalanan menuju atap dunia pun dimulai. Itu dilakukan dengan cara travesing atau menyisir sambil mengitar. Para sherpa yang berpengalaman membuat hati Clara jadi tenang. Ghalzen yang membuat jalur, diikuti para sherpa lain seperti Dhawa, Ghalzen Kecil, dan Kaji, sang pimpinan, mengecek keselamatan jalur yang akan digunakan. Barulah Clara berjalan menyusul di belakang.

Menjelang sampai ke pucuk bumi, Clara dihadang hamparan salju sebatas paha manusia. Pada ketinggian 8.550 meter, hadangan pun makin serius. Sebab, bentuknya lain lagi. Yakni o­nggokan salju raksasa setinggi 10 meter, yang bentuknya seperti pinggul sapi. Untuk melewati gundukan itu, para pendaki memerlukan tangga dan tali. Demikian juga Clara. Dengan tangga yang sudah agak retak setinggi 10 meter dan tali-temali, ia akhirnya melewati hadangan itu.

Menyanyikan Indonesia Raya

Sulit dibayangkan, saya akhirnya dapat melalui gundukan itu,” kata Clara dengan bangga. Maka, ketika jarum jam menunjukkan pukul 11.00 waktu setempat, Clara Sumarwati pun sampai di pucuk Everest. Setelah memandang ke sekeliling dan merasa yakin bahwa ia memang sedang tegak di atap dunia, Clara berkata dalam hati, “Tiba-tiba saya merasa sangat kecil dan rendah.”

Setelah selesai mengucapkan 50 kali doa Salam Maria sambil memegang rosarionya (seperti tasbih), pemeluk Katolik ini menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya sambil memegang Sang Merah Putih. Lalu wanita kelahiran Yogyakarta ini berpose memegang majalah Time yang bergambar sampul Presiden Soeharto.

Sementara itu, Gibang Basuki menunggu kabar di Camp 4 dengan cemas. Begitu mendengar kabar keberhasilan Clara dari handy talky di genggamannya, ia terkejut bercampur gembira. “Saya sudah mau marah. Kok lama nggak turun-turun,” ujar sersan dua Koppasus ini. Lalu ia turun ke Camp 3, meminjam peralatan komunikasi tim Ceko, untuk mengabarkan keberhasilan ini ke Indonesia.

Keraguan atas keberhasilan Clara, yang sejak semula menggelayuti hampir seluruh pendaki Indonesia, pun hilang. Seorang putri Indonesia ternyata mampu meraih prestasi tertinggi dunia. Yakni menaklukkan pucuk Gunung Everest dalam waktu 53 hari. Sebuah perkumpulan pendaki gunung Nepal bernama Pasang Lhamu (diambil dari nama seorang pendaki wanita Nepal yang tewas di puncak Himalaya tahun 1993), telah mengatur pertemuan antara Clara dan Menteri Olahraga Nepal.

Sebuah konferensi pers menyambutnya di Kathmandu, sesaat setelah Clara menjejakkan kaki kembali di ibu kota Nepal itu. Sejumlah piagam dan kertas penghargaan diberikan kepadanya. Antara lain, diangkat menjadi anggota kehormatan oleh Nepal Mountaineering Association. Sedangkan China Mountaineering Association (CMA) dan China Tibet Mountaineering Association (CTMA) memberi selembar sertifikat, yang menandakan bahwa Clara Sumarwati adalah salah seorang pendaki yang berhasil mencapai puncak tertinggi di dunia.

Dan sekembalinya di Indonesia, Clara langsung menghadap Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia, Wismoyo Arismunandar. Pada tahun itu juga ia menerima penghargaan Bintang Nararya atas prestasi gemilang yang dicatatnya.

sumber: Gatra edisi 53/02 tahun 1996 + The Jakarta Post + desk-research.